Fase-fase Hubungan Islam dan Sains: Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi
Untuk
mendeskripsikan hubungan antara Islam dan sains dalam Peradaban Islam
pada abad kedelapan sampai enam belas, pembahasan ini mengeksplorasi
perkembangan spesifik cabang sains tertentu. Tentu saja bagian ini bukan
sejarah yang komprehensif dari tradisi ilmiah Islam, tetapi hanya
deskripsi perkembangan tertentu setiap cabang sains yang memiliki
hubungan langsung dengan agama. Beberapa cabang sains (seperti mekanika)
tidak ada hubungannya secara langsung dengan agama, sedangkan yang
lainnya (seperti kosmologi dan geografi) memiliki hubungan langsung
dengan agama dan karenanya memerlukan perhatian lebih mendalam.
Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan agama selain kosmologi—ilmu
yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam semesta. Namun,
adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang
dimaksud dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang
dimaksud pada abad kedelapan. Penggunaan istilah yang serupa dalam
wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai
contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region
menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki
karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles.
Kosmologi, tentu saja mengalami perkembangan secara filosofi selama
periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan bahkan sampai sekarang. Banyak
data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi langsung pada
pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.
Kepercayaan kosmologis Islam berakar kepada Al-Quran yang berurusan
secara ekstensif dengan masalah ini. Jadi, pertanyaan utamanya adalah
bagaimana pemahaman mufassir, filsuf, dan ilmuwan selama periode
tersebut (abad kedelapan sampai enam belas) terhadap ayat-ayat
kosmologis yang disebut Al-Quran. Perdebatan muncul karena adanya
ketegangan ketika masuknya kosmologi Aristotelian ke dalam tradisi Islam
yang selanjutnya menghasilkan doktrin kosmologis tertentu.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat
merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika
dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di
dalamnya merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui
perintah sederhana: Jadilah (be, kun) (QS.
36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik
mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa
dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam
semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari
bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup
kosmos spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu
terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh
lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam
tingkat eksistensi.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat
diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu
tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di
dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh
ciptaan selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa
eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan
tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia akan binasa.
Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di
bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di
ayat-ayat yang dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di
seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56;
25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga
menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis
(QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5);
Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet sehingga dapat
membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5).
Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam
ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara
non-kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun
(QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran
mengenai asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif
waktu. Walaupun riwayat ini memiliki kemiripan tertentu dengan
penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya sangat berbeda
dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum
ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan,
hal itu sebagai undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia
fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini
diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya bahwa
budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang
Muslim—perintah yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar
atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan untuk menjustifikasi tujuan
undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk mengamati
ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk
mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia
fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas
ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran
satu-satunya Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan,
kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.
Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga
memunculkan kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi
ini menggambarkan fitur utama dari kosmos yang dikembangkan melalui
sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai aliran pemikiran,
termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab,
interaksi antara berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat
Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya
dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal
masyarakat Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu
ini tidak hanya berupa pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul
dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis, teologis, dan
sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan
berbagai sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua sekolah utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam
kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh tentang penciptaan.
Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar
penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan
hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi
sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki
tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.
Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan
terjemahan didominasi oleh perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian
dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu. Arus utama
perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan
keabadian terjadi antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang
disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh perdebatan yang muncul telah
keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada
kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi
dunia fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial,
sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup
penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam
yang paling Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep
kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles, meskipun mereka menerima
keabadian dunia.
Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari
pengulangan hal yang sama. Misalnya, substansi alam fisik yang
sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi” dari sebuah
abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku
Metaphysics, dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak
didasarkan kepada subjek, tapi semua didasarkan atasnya”. Pernyataannya
itu sendiri tidak jelas, dan
selanjutnya pada pandangan ini, materi menjadi substansi.
Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami
kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil,
jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa rasa, produk,
kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah kuantitas
dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi
merupakan derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas,
dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi
oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang
menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya
sendiri di luar yang lain, bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah
tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh yang lain.
(Aristoteles, 1984:1625)
Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan.
Misalnya, Jabir bin Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong
kosong”, ada keraguan dalam tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan
hanya atas bayangan”:
[Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak ada predikat apa pun yang
didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk sesuatu
tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana
Anda katakan, gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan
tidak mungkin memvisualisasikannya sebagaimana entitas didefinisikan.
Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)
Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang
dianggap kekal dan tidak dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi
Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih
seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi
Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar;
sebenarnya ada perbedaan yang mendalam di antara ide-ide mendasar dari
dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf yang menerima
keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem
Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual
yang sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan
contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap
Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan
teolog melemah, karena meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada
kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga pengecualian.
Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim
pertama—menolak keabadian materi dan alam semesta, meskipun di
pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan Plotinus. Dalam risalahnya
yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda` (yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo.
Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam
semesta: (i) argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak; (ii) argumen
mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig, 1979:56). http://isepmalik.wordpress.com/2011/01/28/fase-fase-hubungan-islam-dan-sains-kosmologi-kosmogoni-dan-kosmografi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar