Minggu, 13 Januari 2013

Makalah Penciptaan Alam Dalam Perspektif Islam



MAKALAH PENCIPTAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Tugas ini Disusun Demi Melengkapi Tugas Mata Kuliah Islam dan Sains
Dosen Pengampu : Nurochman, M.Kom.


Description: Description: logo uin.jpg


Disusun Oleh :
1. FANDY SAPUTRA (10651027)
2. M. YUSUF ABDILLAH (10651029)
3. LUQMAN FAHRUDIN (10651030)


Teknik Informatika Fak. Sains Dan Teknologi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2012/2013

Maksud dan Pengaplikasian Interaksi-Interkoneksi



Maksud dan Pengaplikasian Interaksi-Interkoneksi

Banyak sekali sekarang yang menyebutkan kata interaksi dan interkoneksi, dan memang hal ini penting bagi suatu ilmu untuk melaksanakan prinsip interaksi-interkoneksi. Langsung share aja ya..
Integrasi-interkoneksi merupakan upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu agama (islam) dan ilmu-ilmu umum.(Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004). 
Landasan interaksi interkoneksi
  • Dunia saat ini sedang mengalami berbagai krisis.
  • Oleh banyak ahli, berbagai krisis yang melanda dunia ini ditengarai dikarenakan ummat manusia tidak berperilaku sebagaimana mestinya (benar dan baik).
  • Kesalahan perilaku ummat manusia tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut karena pola pendidikan yang dikembangkan saat ini kurang tepat. 
  • Saat ini, pendidikan dikembangkan dengan memisahkan  antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
  • Dikotomi (pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum) tersebut disinyalir sebagai penyebab utama dari krisis global tersebut. 
  • Solusi terhadap pendidikan dikotomis adalah pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
  • Pendekatan pemaduan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum telah banyak ditawarkan oleh beberapa ahli
Implementasi dari interaksi-interkoneksi : 
  • Upaya mempertemukan kedua disiplin ilmu tersebut dilakukan dengan disiplin ilmu filsafat.
  • Pertemuan keduanya akan  memperkuat satu sama lain, sehingga bangunan keilmuan masing-masing akan semakin kokoh.
Tujuan

Untuk memahami kehidupan manusia yang kompleks secara terpadu dan menyeluruh.

Harapan 

Terwujudnya manusia yang mulia (berderajat tinggi), yakni manusia yang beriman, berilmu, dan beramal, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11.

Landasan

- Normatif-Teologis :
Landasan normatif-teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan (Allah SWT) sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang diturunkan-Nya (Abuddin Nata dkk, 2005).

- Filosofis :

Kehidupan manusia bersifat kompleks.
Ilmu agama dan umum untuk memahami kompleksitas hidup manusia.
Integrasi-interkoneksi merupakan jembatan untuk memahami kompleksitas hidup manusia

- Kultural :
  •  Pendidikan (islam dan umum) yang baik tidak mengabaikan budaya (potensi) lokal.
  • Apabila basis kultural (budaya/potensi lokal) tidak dijadikan basis pengembangan keilmuan agama dan umum, maka akan terjadi proses elitisme ilmu agama dan elitisme ilmu umum, sehingga ilmu umum dan agama kurang berfungsi dalam kehidupan nyata.

- Sosiologis
Agar seseorang mampu menyelesaikan masalah masyarakat, perlu dikembangkan paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi, sehingga dapat melihat masalah secara lebih utuh.

- Psikologis
  • Pembacaan terhadap ketiga hadlarah secara parsial dan tidak utuh dapat menimbulkan perpecahan kepribadian karena dapat terjadi konflik antara apa yang diyakini dengan apa yang dipikirkan dan juga dengan apa terjadi dalam realitas kehidupan.
  • Pembacaan terhadap ketiga hadlarah secara terpadu dan utuh akan memperkuat kepribadian.

- Historis
  • Pada abad modern, tekanan dari ilmu-ilmu agama mulai berkurang bahkan hampir tidak ada. 
  • Berkurangnya/hilangnya tekanan ilmu-ilmu agama, menyebabkan berkembangnya ilmu-ilmu umum secara pesat. 
  • Tidak adanya sentuhan agama pada ilmu-ilmu umum, mengakibatkan ilmu-ilmu umum berkembang dengan mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan


-Model interaksi-interkoneksi
  • Informatif : Suatu disiplin ilmu memberikan informasi kepada disiplin ilmu yang lain
  • Konfirmatif (klarifikatif) : Suatu disiplin ilmu memberikan penegasan kepada disiplin ilmu lain
  • Korektif : Suatu disiplin ilmu mengoreksi disiplin ilmu yang lain.

-Ranah interaksi-interkoneksi

Pasang Surut Hubungan Islam dan Pengetahuan


Pasang Surut Hubungan Islam dan Pengetahuan

Pada masanya islam merupakan pusat dari ilmu pengetahuan, namun sekarang ini pusat ilmu pengetahuan ada di bangsa barat.
Awal mula pasang surut islam dikarenakan banyaknya faktor yang mendukung diantaranya sebagai berikut : 
  • Dalam Islam, hubungan agama (Islam) dan sains tidak lepas dari fakta sejarah kejayaan dan kemunduran sains dalam peradaban Islam.
  • Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan ilmiah sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia.
  • Umat Islam telah menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i berdasarkan percobaan yang kemudian menjadi applied science atau technology
  • Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains), terdapat dalam al-Qur’an.
  • Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile.
  • Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
  • Pendapat ini didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam.
  • Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains.

Contoh:
- Q.S. Al-’alaq: 1-5
- Q.S. Ali-Imran: 190-191
- Q.S. Al-Jatsiyah: 13

  • Islam menempatkan orang yang beriman dan berilmu pada derajat yang tinggi.

Contoh: Q.S. Al-Mujadilah: 11

KEMAJUAN  ILMU SAINS DALAM PERADABAN ISLAM

Faktor-faktor Pendorong Kemajuan Sains dalam Peradaban Islam
  1. Universalisme : Adalah  fakta bahwa satu-satunya ikatan kebersamaan antara individu muslim adalah ikatan keyakinan dan tujuan hidup bersama.
  2. Toleransi : Pemahaman kata umat tanpa diimbangi semangat toleransi hanya akan membuat ilmuwan muslim terisolasi dan tidak mampu menjadi rahmat bagi sekalian alam
  3. Karakter pasar Internasional : 

- Luasnya jaringan perdagangan dengan bangsa lain.
- Rihlah ilmiyah (perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan) menjadikan sains-teknologi di dunia Islam maju
 
  4.   Perhargaan terhadap sains dan saintis :
- Peran penguasa yang dimaksud adalah adanya sikap positif penguasa dalam bentuk penghargaan terhadap sains dan saintis.
- Hal ini antara lain ditandai oleh kebijakan penguasa untuk membangun lembaga ilmu pengetahuan seperti yang dilakukan oleh Al-Ma’mun dengan berdirinya Bait al-Hikmah. 

  5.   Keterpaduan antara tujuan dan alat/cara : 
- Para saintis muslim mempunyai kesadaran untuk menyeimbangkan antara tujuan dengan cara pencapaiannya.
-  Sains dan nilai (etika atau moral) berjalan bersamaan.
(Sumber: Disertasi Bapak Muqowwim, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga)

KEMUNDURAN SAINS
  • Salah satu faktor kemunduran sains dalam peradaban Islam adalah konflik (antara Islam dan Sains).
  • Islam banyak berkonflik dengan sains pada masa akhir kemunduran sains Islam yang berlanjut hingga kemunculan sains modern (Newton).
  • Sejarah mencatat benturan sains pada masa peradaban Islam terjadi saat ulama besar Imam al-Ghazali menyerukan umat Islam untuk kembali meng’hidup’kan ajaran agama melalui bukunya ‘Ihya Ulumiddin’.
  • Kesalahan memahami fatwa ulama tersebut pada akhirnya mempengaruhi cara pandang umat Islam terhadap Ilmu pengetahuan yang pada saat itu telah berkembang dengan pesat.
  • Umat Islam mulai meninggalkan budaya mempelajari Sains dan berpindah menekuni Agama (Islam).
  • Dampak: terjadi ketimpangan posisi ilmu. Ilmu agama secara sosial-politik lebih baik daripada ilmu umum (ilmu umum berstatus sebagai pelengkap).http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2011/11/pasang-surut-hubungan-islam-dan.html#more

Fase-fase Hubungan Islam dan Sains: Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi


Untuk mendeskripsikan hubungan antara Islam dan sains dalam Peradaban Islam pada abad kedelapan sampai enam belas, pembahasan ini mengeksplorasi perkembangan spesifik cabang sains tertentu. Tentu saja bagian ini bukan sejarah yang komprehensif dari tradisi ilmiah Islam, tetapi hanya deskripsi perkembangan tertentu setiap cabang sains yang memiliki hubungan langsung dengan agama. Beberapa cabang sains (seperti mekanika) tidak ada hubungannya secara langsung dengan agama, sedangkan yang lainnya (seperti kosmologi dan geografi) memiliki hubungan langsung dengan agama dan karenanya memerlukan perhatian lebih mendalam.

Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan agama selain kosmologi—ilmu yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam semesta. Namun, adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang dimaksud dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang dimaksud pada abad kedelapan. Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.

Kepercayaan kosmologis Islam berakar kepada Al-Quran yang berurusan secara ekstensif dengan masalah ini. Jadi, pertanyaan utamanya adalah bagaimana pemahaman mufassir, filsuf, dan ilmuwan selama periode tersebut (abad kedelapan sampai enam belas) terhadap ayat-ayat kosmologis yang disebut Al-Quran. Perdebatan muncul karena adanya ketegangan ketika masuknya kosmologi Aristotelian ke dalam tradisi Islam yang selanjutnya menghasilkan doktrin kosmologis tertentu.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah (be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.

Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.

Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.

Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.

Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga memunculkan kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini menggambarkan fitur utama dari kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai aliran pemikiran, termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, interaksi antara berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal masyarakat Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis, teologis, dan sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh tentang penciptaan. Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.

Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu. Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial, sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles, meskipun mereka menerima keabadian dunia.

Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi” dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics, dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan

selanjutnya pada pandangan ini, materi menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain, bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh yang lain. (Aristoteles, 1984:1625)

Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”:

[Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan, gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)

Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang mendalam di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.

Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak keabadian materi dan alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda` (yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta: (i) argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig, 1979:56). http://isepmalik.wordpress.com/2011/01/28/fase-fase-hubungan-islam-dan-sains-kosmologi-kosmogoni-dan-kosmografi/

Tipologi Hubungan Agama dan Sains

Empat Tipologi Hubungan Sains dan Agama
Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya. Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini menjadi tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan sains?.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi hasil aplikasi sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama (A. Sahirul Alim,1999:67).
Sebagai makhluk berakal, tentunya manusia juga sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Dan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama. Namun, hendaknya terlebih dahulu dipahami konsep dan paradigma sains menurut para ilmuwan. Secara terminologi, sains berarti ilmu pengetahuan yang sistematik dan obyektif serta dapat diteliti kebenarannya ( M. Ridwan, dkk, 1999:577 ).
Sedangkan menurut Achmad Baiquni (1995:58) mendefinisikan sains sebagai himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Melalui proses pengkajian yang dapat diterima oleh akal, sains disusun atas dasar intizhar pada gejala-gejala alamiah yang dapat diperiksa berulang-ulang atau dapat diteliti ulang oleh orang lain dalam eksperimen laboratorium. Kata intizhar (nazhara) dapat berarti mengumpulkan pengetahuan melalui pengamatan atau observasi dan pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup maupun yang tak bernyawa. (Abuddin Nata, 1993:100).
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (2004:41) mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Sebagai penguasa yang memiliki rasa tanggung jawab, manusia ditunjuk oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di bumi yang tidak lain adalah untuk memelihara dan mengelolanya.
Untuk memperoleh kemampuan itu, manusia harus mengenal alam lingkungannya dengan baik melalui pengamatan terhadap alam sekitar dan mengkaji gejala- gejala yang tampak pada pengamatan itu. Dengan metode yang sudah ditetapkan, sains mengupayakan pemahaman rasional atas alam fisik hingga melahirkan keyakinan dan mengikis keraguan. Metodologi yang diturunkan dari seperangkat aturan dan kriteria yang koheren ini sekarang benar-benar dapat diinterpretasikan atas dasar fakta-fakta yang dapat diverifikasi oleh siapapun. (Pervez Hoodbhoy, 1993:3).
Sementara itu dalam perjalanan sejarah sains sering dipandang sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang obyektif, karena dapat diakses dan dibuktikan kebenarannya oleh banyak orang. Karakternya yang sekuler, sering mengakibatkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai agama. Seperti yang berkembang pada abad lalu, para saintis Barat menganggap bahwa agama lahir dari keyakinan terhadap unsur-unsur yang menyertainya. Sedangkan sains dianggap pasti berdasarkan akal, sebab fakta-faktanya dapat dibuktikan dan diakui kebenarannya. Mereka berfikir bahwa nalar memiliki fondasi tersendiri tanpa harus merujuk kepada realitas transenden. Sejak saat itu, dunia sains di Barat terbangun dengan sikap menyingkirkan agama dari kontek pencarian pengetahuan. (Bruno Guiderdoni,2004:43). Paham sekularitas sains inilah yang kerap menimbulkan kontroversi dalam hubungannya dengan agama.
Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan memebuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.


1.Konflik

Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja. (M. Quraish Sihab,1994:53).
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek pemikirannya yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19.
Armahedi Mahzar (2004:212) berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme religius secar dogmatis ini mempunyai perlawanan yang sama dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak obyektivisme sains.
Identifikasinya adalah bahwa yang riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubunagn matematis. Mereka juga berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak lebih dari cerita-cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama sekali dengan sains.
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Ian G. Barbour, 2005:224).
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.


2.Independensi

Tidak semua saintis memilih sikap konflik dalam menghadapi sains dan agama. Ada sebagian yang menganut independensi, dengan memisahkan sains dan agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan eksisitensi atas yang lain antara sains dan agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai (Armahedi Mahzar, 2004:212). Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama.
Contoh-contoh saintis yang menganut pandangan ini di antaranya adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon Gilkey. Karl Bath menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi ini, yang dikutip oleh Ian G. Barbour (2002:66). Menurutnya: Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.
Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren.
Bila manusia menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya yang berbeda, dan meskipun dari aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin yang berbeda pula, tentunya manusia harus berusaha menginterpretasikan ragam hal itu dalam pandangan yang lebih dialektis dan komplementer.


3.Dialog

Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
Ian G. Barbour (2005:32) memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Ian G. Barbour, 2002:76).
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian G. Barbour, 2002:80). Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran metodologis.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.


4.Integrasi

Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Armahedi Mahzar (2004 : 213) mencermati pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka kemungkinan variasi detail organisme tersebut, bukan dalam anggapan Tuhan sebagai perancang sentral desain organisme.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour, 2002 : 42 )
Meskipun pengamatan ini terjadi di kalangan saintis Eropa yang dibatasi pada teologi Kristen, tidak ada salahnya jika umat Islam menyimak proses yang sama di kalangan Islam sebagaimana Bruno Guidedoni (2004 : 42) mentransformasikan paham integritasnya dalam sains dan Islam. Dia memandang pengetahuan itu dapat disatukan. Ajaran utama Islam menggariskan bahwa semua jenis pendekatan terhadap realitas pada akhirnya dapat dipersatukan dan makna finalnya diperoleh dalam perenungan terhadap wajah Tuhan di akhirat.
Para saintis tidak dapat mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun dengan memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan tak akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta.
Dalam meninjau hubungan sains dan agama, Penulis akan menunjukkan pandangan keempat tipe hubungan sains dan Islam terhadap satu tema penting seputar penciptaan alam semesta menurut tesis Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi.
Sebagian besar astronom abad ke-18 hingga abad ke-19 beranggapan bahwa alam semesta berukuran relatif kecil dengan usia yang masih muda, kemudian bermunculan teori-teori spekulatif yang memprakirakan alam semesta yang lebih luas dan lebih tua, hingga pada gilirannya muncul teori-teori baru kosmologi yang melahirkan isu-isu mendatar berkaitan dengan agama.
Pandangan Konflik dihadirkan oleh kalangan Atheis yang mengatakan bahwa keseimbangan gaya pada alam semesta yang menghasilkan kondisi yang kondusif bagi munculnya kehidupan dan kecerdasan adalah kebetulan semata.
Manusia secara kebetulan berada di dalam sebuah alam semesta yang memungkinkan hadirnya kehidupan dan kecerdasan. Demikian pula pendapat meterialis ilmiah, bahwa kosmologi mengarahkan manusia kepada faktor kebetulan atau keniscayaan, bukan mengarahkan manusia kepada desain atau tujuan. Sedangkan kalangan Teolog mengklaim adanya keharmonisan antara proses kosmik dengan Kitab Kejadian. Sejarah kosmik yang menghasilkan pesona yang cerdas ditafsirkan sebagai ekspresi dari tujuan Tuhan dan sebagai manifestasi sifat Tuhan yang cerdas dan personal.
Masih dalam permasalahan yang sama, pendukung Independensi mengkalim bahwa makna religius dari penciptaan dan fungsi penciptaan tidak ada kaitannya dengan teori ilmiah tentang proses fisika kosmologi yang terjadi pada masa lalu.
Gagasan tentang penciptaan yang dikemukakan adalah bahwa dunia tidak pula menjadi bagian dari Tuhan, atau berbeda dengan Tuhan. Sejumlah Teolog berbagi pandangan bahwa kitab suci membawa gagasan yang dapat diterima, tidak tergantung pada kosmologi apapun. Sains dan agama melayani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia. Tujuan sains adalah memahami hubungan sebab-akibat diantara fenomena-fenomena alam, sedangkan tujuan agama adalah mengikuti suatu jalan hidup di dalam kerangka makna yang lebih besar. Pemisahan tersebut menutup kemungkinan adanya hubungan positif dan koheren antara sains dan agama.
Pendukung tesis Dialog mengatakan bahwa sains memiliki perkiraan dan pertanyaan-pertanyaan batas yang tidak dapat dijawab sendiri oleh sains. Tampaknya, refleksi atas kosmologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan batas. Maka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sains itu, mereka menggunakan tradisi keagamaan dengan doktrin biblikal tentang penciptaan yang memberikan konstribusi penting terhadap kemajuan sains tanpa merusak integritas sains itu sendiri. Pendukung tesis integrasi merespon masalah kosmologi ini dengan korelasi yang lebih dekat antara kepercayaan keagamaan dengan teori ilmiah daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis Dialog.
Gagasan mereka adalah bahwa Tuhan benar-benar mengontrol semua peristiwa penciptaan yang tampak oleh manusia sebagai kebetulan. Manusia dapat melihat desain proses keseluruhan di dalam kehidupan yang terjadi dengan kombinasi dan ciri proses tertentu. Keindahan bumi yang luar biasa mengekspresikan rasa syukur atau berkah kehidupan serta bentangan ruang dan waktu kosmos yng tak terbayangkan, memperlihatkan kerja Sang Pencipta yang diidentifikasi bertujuan sebagai tatanan pemikiran bagi manusia bahwa segala sesuatu terjadi menurut perencanaan yang sangat terperinci dan dalam kontrol total Tuhan (Ian G. Barbour, 2002 : 101 ).
Setelah meninjau pandangan keempat tipe hubungan sains dan agama dalam merespon masalah penciptaan, penulis lebih mendukung dan mengakomodasi pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan Islam, karena dalam hubungan integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif sepadu dengan Kesatuan Realitas yang Mutlak. Di mana realitas sains memiliki konvergensi dengan realitas yang diungkapkan Al-Qur’an mengenai fenomena alam dan manusia. Tanpa integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi problematika modernitas sains di tengah pesatnya perkembangan teknologi. (http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/04/16/empat-tipologi-hubungan-sains-dan-agama/)